Kota Jambi Provinsi Mana

Kota Jambi Provinsi Mana

Jambi merupakan salah satu provinsi di Pulau Sumatera, tepatnya di pesisir timur Sumatera bagian tengah. Letaknya strategis karena dekat dengan Selat Malaka dan berhadapan dengan Selat Karimata serta Selat Berhala.

Jambi juga berada pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I dan lalu lintas internasional. Dengan posisi tersebut, wilayah Jambi memiliki keunggulan komparatif jika dibanding dengan provinsi lain di Pulau Sumatera.

Provinsi ini genap berusia 63 tahun pada tahun 2020. Daerah yang memiliki semboyan “Spucuk Jambi, Sembilan Lurah” ini dibentuk pada tanggal 6 Januari 1957 bersamaan dengan pembentukan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau.

Tanggal 6 Januari 1957 tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Provinsi Jambi, seperti tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor 1 Tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970 tentang Hari Lahir Provinsi Djambi.

Sebelum berdiri secara otonom, Jambi merupakan salah satu keresidenan di Provinsi Sumatera Tengah berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota-Besar dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Tengah.

Satu tahun kemudian provinsi ini dihapus berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 dan dimekarkan menjadi tiga provinsi, yaitu Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Lalu, Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 mengukuhkan UU Darurat tersebut, dan sejak tahun 1957 pusat pemerintahan Provinsi Jambi berada di Kota Jambi.

Provinsi Jambi terdiri dari 9 kabupaten, 2 kota, 141 kecamatan, dan 1.562 kelurahan/kota. Dengan luas 50.160,05 kilometer persegi, daerah ini dihuni oleh 3,62 juta penduduk pada tahun 2019.

Perjalanan sejarah Provinsi Jambi cukup panjang. Disebutkan dalam buku Sejarah Sosial Jambi, Jambi Sebagai Kota Dagang, wilayah Jambi telah memainkan peranan penting dalam perkembangan peradaban manusia sejak masa prasejarah itu.

Peninggalan batu megalith yang tersebar di berbagai tempat, antara lain di Merangin dan Kerinci, menjadi bukti masa itu. Batu-batu tersebut berbentuk dolmen, batu bergambar, tempayan kubur, dan budaya batu besar lainnya. Peninggalan budaya prasejarah tersebut diperkirakan berlangsung pada 840–1120 Masehi.

Pada awal abad ketujuh, sebuah Kerajaan Melayu Tua muncul di dekat muara Sungai Batanghari. Berita pertama mengenai keberadaan Kerajaan Melayu Kuno itu didapat dari catatan Dinasti Tang, yaitu mengenai datangnya utusan dari daerah Mo-Lo-Yeu di China tahun 644 dan 645 Masehi. Nama daerah ini dihubungkan dengan Kerajaan Melayu yang letaknya di pantai timur Sumatera, yang pusatnya berlokasi di sekitar Jambi.

Kerajaan tersebut menguasai pelabuhan tua di muara sungai yang kemudian menjadi tempat berkembang pesatnya perdagangan, hingga mampu menarik perhatian kerajaan besar Sriwijaya di Palembang. Kerajaan inilah yang kemudian pada tahun 686 menaklukkan Kerajaan Melayu Tua dan menguasai pelabuhannya.

Agama Islam baru masuk ke Jambi pada abad ke-16, bersamaan dengan kedatangan Belanda di daerah ini. Pada tahun 1616, perusahaan Belanda The Dutch East India Company membuka kantornya di Jambi yang kemudian membuat kerja sama dagang dengan penguasa Melayu Sultan Muhammad Nakhruddin.

Pada masa itu, Belanda juga berhasil mendapatkan hak monopoli dalam perdagangan lada yang banyak dihasilkan dari wilayah Jambi, dan pada tahun 1901 Belanda memindahkan kantor dagangnya ke Palembang, Sumatera Selatan dan melepaskan pengawasannya atas Jambi.

Pada akhir abad ke-19, di wilayah Jambi terdapat Kerajaan atau Kesultanan Jambi. Tahun 1855, Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Thaha Syaifuddin. Pada saat Belanda mulai menduduki Kesultanan Jambi, tepatnya tahun 1858, Sultan Thaha menyingkir dari keraton dan melakukan perang gerilya. Dia gugur dalam perang melawan penjajah tahun 1904.

Sultan Thaha Syaifuddin merupakan pahlawan nasional asal Jambi. Ia dilahirkan pada pertengahan tahun 1816 di Keraton Tanah Pilih Jambi. Ia adalah sultan terakhir dari Kesultanan Jambi. Ia merupakan putra dari Sultan M Fachrudin dengan gelar Sultan Kramat.

Dengan berakhirnya masa Kesultanan Jambi, menyusul gugurnya Sultan Thaha Syaifuddin tanggal 27 April 1904, Belanda menguasai wilayah Jambi sepenuhnya. Tahun 1906, Belanda mulai membentuk administrasi pemerintahan di Jambi.

Jambi yang sebelumnya ditangani oleh Keresidenan Palembang, menjadi keresidenan tersendiri. Sebagai residen Jambi yang pertama adalah OL Helfrich, sebelumnya dia menjabat sebagai Asisten Residen Palembang.

Susunan pemerintahan Jambi pada zaman Belanda masih memperhatikan susunan adat seperti di zaman kesultanan, namun disesuaikan dengan politik jajahannya. Pemerintahan Jambi di era penjajahan Belanda berturut-turut dari level teratas sampai terbawah adalah Residen-Kontrolir-Demang-Asisten Demang-Kepala Adat/Pasirah-Penghulu/Kepala Dusun-Rakyat.

Rakyat Jambi tidak sepenuhnya mengakui pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini terbukti dengan adanya perlawanan, yaitu Perang Sarikat Abang yang terjadi pada tahun 1916. Perlawanan ini dapat dihentikan oleh Belanda dan tokoh-tokoh perlawanannya disidangkan dalam suatu pengadilan yang dinamakan Pengadilan Rapat Besar Istimewa. Tokoh-tokoh perlawanan tersebut kemudian dibuang ke Digul, Ternate, dan Nusakambangan.

Setelah peristiwa pembangkangan tersebut, Belanda semakin memperketat ruang gerak rakyat dengan mengadakan pembatasan-pembatasan berbagai kegiatan perkumpulan dan organisasi politik. Akibatnya, semua perkumpulan dan organisasi politik vakum dan akhirnya mati. Jambi, akhirnya menjadi daerah yang kosong dari organisasi politik.

Larangan Belanda tersebut ternyata tidak hanya pada organisasi politik, melainkan melebar pada dunia pendidikan. Belanda melarang rakyat Jambi untuk bersekolah atau mendirikan sekolah. Setelah beberapa tokoh memperjuangkan pendirian sekolah, seperti yang dilakukan oleh H Nawawi, HM Chatib, akhirnya beberapa sekolah berdiri, namun dengan pengawasan yang ketat.

Kekuasaan Belanda atas Jambi berlangsung kurang lebih 36 tahun karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang.

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Situs Candi Muaro Jambi—Pengunjung melihat Candi Tinggi di Kompleks Situs Candi Muaro Jambi di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Sabtu (10/11/2012). Kompleks situs ini luasnya sekitar 17,5 kilometer persegi dan diperkirakan ada sekitar 110 buah candi. Situs Muaro Jambi yang diperkirakan dibangun sejak abad ke-4 hingga ke-11 Masehi ini menjadi tempat pengembangan ajaran Budha pada masa Melayu Kuno. Situs ini kini terancam perusakan oleh tambang batu bara dan industri pengolahan minyak sawit.

Pada masa penjajahan Jepang, rakyat tertipu dengan propaganda “Sang Saudara Tua” yang akan memberi kemakmuran. Namun, janji Jepang tersebut ternyata tidak dilakukan. Alih-alih menyejahterakan rakyat Jambi, Jepang menerapkan pemerintahan yang kejam ketika itu.

Bahan pangan yang dimiliki rakyat dirampas dan sebagian rakyat dijadikan romusha. Kegiatan politik rakyat dilarang, bahkan dalam kegiatan sehari-hari pun selalu dimata-matai oleh tentara Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Indonesia merdeka, tanggal 17 Agustus 1945.

Pada awal kemerdekaan, Sumatera masih menjadi satu provinsi, yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibu kotanya. Ketika itu, Teuku Muhammad Hasan ditunjuk sebagai Gubernur Sumatera.

Pada tanggal 18 April 1946, Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga subprovinsi, yaitu sub-Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan.

Sub-Provinsi Sumatera Tengah mencakup keresidenan Sumatra Barat, Riau, dan Jambi. Tarik-menarik keresidenan Jambi untuk masuk ke Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah ternyata cukup alot dan akhirnya ditetapkan dengan pemungutan suara pada Sidang KNI Sumatera tersebut dan Keresidenan Jambi masuk ke Sumatera Tengah. Sub-subprovinsi dari Provinsi Sumatera ini kemudian, dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948, ditetapkan sebagai provinsi.

Dengan UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Keresidenan Jambi saat itu terdiri dari dua kabupaten dan satu Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko; dan Kabupaten Batanghari yang terdiri dari Kewedanan Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala Tungkal.

Pada tanggal 9 Agustus 1957, Presiden Soekarno menandatangani UU Darurat Nomor 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. Dengan UU Nomor 61 tahun 1958 tanggal 25 Juli 1958, UU Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi, dan Riau ditetapkan sebagai undang-undang.

Dalam UU Nomor 61 Tahun 1958 disebutkan, daerah Swatantra Tingkat I Jambi wilayahnya mencakup wilayah daerah Swatantra Tingkat II Batanghari, Merangin, dan Kota Praja Jambi serta Kecamatan-Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah, dan Hilir.

Pada tanggal 30 Desember 1958, pejabat gubernur meresmikan berdirinya Provinsi Jambi atas nama Mendagri di Gedung Nasional Jambi (sekarang gedung BKOW).

Jambi sebagai daerah pemukiman atau pemusatan penduduk bahkan sebagai pusat kedudukan pemerintahan telah berjalan dari masa ke masa. Sejarah Dinasti Sung menguraikan bahwa Maharaja San-fo-tsi (Swarnabhumi) bersemayam di Chan-pi. Utusan dari Chan-pi datang untuk pertama kalinya di istana Kaisar China pada tahun 853M. Utusan ke dua kalinya datang pula pada tahun 871M. Informasi ini menorehkan bahwa Chan-pi (yang diidentifikasikan Prof. Selamat Mulyana sebagai Jambi) sudah muncul diberita China pada tahun – tahun tersebut. Dengan demikian Chan-pi atau Jambi sudah ada dan dikenal pada abad ke 9M. Berita China Ling Pio Lui (890-905M) juga menyebut Chan-pi (Jambi) mengirim misi dagang ke China.

Silsilah Raja-raja Jambi tulisan Ngebih Suto Dilago Priayi Rajo Sari pembesar dari kerajaan Jambi yang berbangsa 12, menulis Putri Selaro Pinang Masak anak rajo turun dari Pagaruyung di rajakan di Jambi. Dari sebutan Pinang dalam bahasa Jawa (Sunda) dilapas sebagai Jambe sehingga ditenggarai banyak orang sebagai asal kata Jambi. Jadi ada perubahan bunyi dan huruf dari Jambe ke Jambi. Identifikasi ini menginformasikan kata Jambe-Jambi terbuhul pada abad ke 15 yaitu di masa Puteri Selaro Pinang Masak memerintah dikerajaan Jambi Tahun 1460-1480.

Raden Syarif (yang kemudian diungkapkan kembali oleh Datuk Sulaiman Hasan) dari “Riwayat Tanjung Jabung Negeri Lamo” mencatat bahwa Puteri Selaro Pinang Masak mengilir dari Mangun Jayo ke Tanjung Jabung di pandu oleh sepasang itik besar (Angso Duo) yang mupur ditanah pilih pada tanggal 28 Mei 1401. Legenda Tanah Pilih ini berbeda versi dengan Ngebi Suto Dilago. Silsilah Raja-raja Jambi menyebut Orang Kayo Hitam (salah seorang putera dari pasangan puteri Selaro Pinang Masak dengan Ahmad Barus II/Paduko Berhalo) yang mengilir mengikuti sepasang itik besak (Angso Duo) atas saran petuah mertuanya Temenggung Merah Mato Raja Air Hitam Pauh.

Profesor Moh. Yamin mengidentifikasi Jambi berada disekitar Kantor Gubernur Jambi di Telanaipura sekarang. Indikasi ini atas dasar mulai dari kawasan Mesjid Agung Al-falah sampai ke Pematang pinggiran Danau Sipin terdapat deretan struktur batuan bata candi yang diantaranya menunjukan sebagai komplek percandian yang cukup besar dikawasan kampung Legok.

Tidak tertutup kemungkinan penemuan tanah pilih oleh sepasang Angso yang mupur tersebut adalah pembukaan kembali Kota Chan-pi yang ditinggal karena kerajaan SwarnaBhumi (San-fo-tsi) diserang oleh Singosari dalam peristiwa Pamalayu tahun 1275M dan pindah ke pedalaman Batang Hari yang kemudian dikenal sebagai Darmasraya (Sumatera Barat). Dua Puteri Melayu/Darmasraya yaitu Dara Petak dan Dara Jingga diboyong oleh Mahisa Anabrang ke Singosari pada tahun 1292. Ternyata di saat itu Singosari telah runtuh oleh pemberontak dan kemudian mendapat serbuan tentara Khu Bilaikhan. Singosari berganti menjadi Majapahit dengan Rajanya Raden Wijaya. Salah seorang keturunan Puteri melayu itu yaitu dari pasangan Dara Jingga yaitu Adityawarman kembali ke Darmasraya kemudian mendirikan dan menjadi Raja di Pagaruyung (1347-1375M). Anaknya yang bernama Ananggawarman meneruskan teratah kerajaan Pagaruyung. Keturunan Ananggawarman salah satunya adalah Puteri Selaro Pinang Masak yang dirajakan di Jambi.

Setelah Orang Kayo Hitam dirajakan pusat kerajaan dipindahkan dari Ujung Jabung ke Tanah Pilih Jambi disekitar awal abad ke 16. Jadilah Jambi kembali sebagai tempat kedudukan Pemerintahan.

Pangeran Depati Anom yang naik tahta dikerajaan Jambi bergelar Sultan Agung Abdul Jalil (1643-1665M) pernah memberikan surat izin untuk mendirikan pasar tempat berjual beli di Muaro Sungai Asam pada seorang Belanda bernama Beschseven. Izin Sultan tersebut tertanggal 24 Juni 1657 dimana lokasi yang diizinkan itu kemudian berpindah dari Muaro Sungai Asam ke sekitar Muaro Sungai di bawah area WTC Batang Hari sekarang.

Jambi sebagai pusat pemukiman dan tempat kedudukan raja terus berlangsung. Istana yang dibangun di Bukit Tanah Pilih disebut sebagai istana tanah pilih yang terakhir sebagai tempat Sultan Thaha Saifuddin dilahirkan dan dilantik sebagai sultan tahun 1855. Istana Tanah Pilih ini kemudian di bumi hanguskan sendiri oleh Sultan Thaha tahun 1858 menyusul serangan balik tentara Belanda karena Sultan dan Panglimanya Raden Mattaher menyerang dan berhasil menenggelamkan 1 kapal perang Belanda Van Hauten di perairan Muaro Sungai Kumpeh.

Dari puing – puing Istana Tanah Pilih oleh Belanda dikuasai dan dijadikan tempat markas serdadu Belanda. Praktis setelah Sultan Thaha Saifuddin gugur tangga 27 April 1904 Belanda secara utuh menempatkan wilayah kerajaan Jambi sebagai bagian wilayah kekuasaan Kolonial Hindia Belanda. Jambi kemudian berstatus Under Afdeling di bawah Afdeling Palembang. Pada Tahun 1906 Under Afdeling Jambi ditingkatkan sebagai Afdeling Jambi kemudian di tahun 1908 Afdeling Jambi menjadi Kerisidenan Jambi dengan residennya O.L. Helfrich berkedudukan di Jambi. Sampai masa Kemerdekaan pejabat Residen dari Keresidenan Jambi berkedudukan di Jambi. Setelah Republik Indonesia di Proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan berita RI Tahun II No. 07 hal 18 tercatat untuk sementara waktu daerah Negara Indonesia di bagi dalam 8 Provinsi yang masing – masing dikepalai oleh seorang Gubernur diantaranya Provinsi Sumatera. Provinsi Sumatera ini kemudian pada tahun 1946 dibagi lagi dalam 3 sub Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sub Provinsi Sumatera Tengah dan Sub Provinsi Sumatera Selatan. Keresidenan Jambi dengan hasil voting dimasikan ke dalam wilayah Sub Provinsi Sumatera Tengah.

Residen Jambi yang pertama di masa Republik adalah Dr. Asyagap sebagaimana tercantum dalam pengumuman Pemerintah tentang pengangkatan residen, Walikota di Sumatera dengan berdasarkan pada surat ketetapan Gubernur Sumatera tertanggal 03 Oktober 1945 No. 1-X.

Pada tahun 1945 tersebut sesuai Undang-undang no.1 tahun 1945 wilayah Indonesia terdiri dari Provinsi, Karesidenan, Kewedanaan dan Kota. Tempat kedudukan Residen yang telah memenuhi syarat, disebut Kota tanpa terbentuk struktur Pemerintahan Kota. Dengan demikian Kota Jambi sebagai tempat kedudukan Residen Keresidenan Jambi belum berstatus dan memiliki pemerintahan sendiri. Kota Jambi baru diakui berbentuk pemerintahan ditetapkan dengan ketetapan Gubernur Sumatera No. 103 tahun 1946 tertanggal 17 Mei 1946 dengan sebutan Kota Besar dan Walikota pertamanya adalah Makalam.

Mengacu pada Undang-undang No. 10 tahun 1948 Kota Besar menjadi Kota Praja. Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 18 tahun 1965 menjadi Kota Madya dan berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999 Kota Madya berubah menjadi Pemerintah Kota Jambi sampai sekarang.

Dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1958 Keresidenan Jambi sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Tengah dikukuhkan sebagai Provinsi Jambi yang berkedudukan di Jambi. Kota Jambi sendiri pada saat berdirinya Provinsi Jambi telah berstatus Kota Praja dengan Walikotanya R. Soedarsono.

Tanggal penetapan Kota Jambi sebagai Kota Praja yang mempunyai Pemerintahan sendiri sebagai Pemerintah Kota dengan ketetapan Gubernur Sumatera No. 103 Tahun 1946 tertanggal 17 Mei 1946 dipilih dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Jambi No. 16 Tahun 1985 dan disahkan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi No. 156 Tahun 1986, tanggal 17 Mei 1946 itu sebagai Hari Jadi Pemerintah Kota Jambi.

(Drs.H.Junaidi.T.Noor.MM)

Provinsi Jambi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 61 tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 112), yang terdiri dari 5 Kabupaten dan 1 Kota. Pada tahun 1999, dilakukan pemekaran terhadap beberapa wilayah administratif di Provinsi Jambi melalui Undang-undang Nomor 54 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Selanjutnya melalui Undang-undang nomor 25 tahun 2008, tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh, sehingga sampai tahun 2010, secara administratif Provinsi Jambi menjadi 9 Kabupaten dan 2 Kota.

Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi sebagaimana telah di ubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2011, maka Gubernur juga berkewajiban menyampaikan informasi kegiatan yang dilaksanakan oleh Instansi Vertikal yang berada pada wilayah Pemerintah Provinsi Jambi.

Letak Wilayah dan Topografi

Secara geografis Provinsi Jambi terletak pada 0o45’-2o45’ Lintang Selatan dan 101o10’-104o55’ Bujur Timur di bagian tengah Pulau Sumatera, sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau, Sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan Provinsi Kepulauan Riau, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat. Posisi Provinsi Jambi cukup strategis karena langsung berhadapan dengan kawasan pertumbuhan ekonomi yaitu IMS-GT (Indonesia, Malaysia, Singapura Growth Triangle). Luas wilayah Provinsi Jambi sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 1957, tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 61 tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 112) adalah seluas 53.435,72 km2 dengan luas daratan 50.160,05 km2 dan luas perairan 3.274,95 Km2 yang terdiri atas :

Secara administratif, jumlah kecamatan dan desa/kelurahan di Provinsi Jambi tahun 2010 sebanyak 131 Kecamatan dan 1.372 Desa/Kelurahan, dimana jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan terbanyak di Kabupaten Merangin yaitu 24 Kecamatan dan 212 Desa/Kelurahan.

Secara topografis, Provinsi Jambi terdiri atas 3 (tiga) kelompok variasi ketinggian (Bappeda, 2010):

1. Daerah dataran rendah 0-100 m (69,1%), berada di wilayah timur sampai tengah. Daerah dataran rendah ini terdapat di Kota Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sebagian Kabupaten Batanghari, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin.

2. Daerah dataran dengan ketinggian sedang 100-500 m (16,4%), pada wilayah tengah. Daerah dengan ketinggian sedang ini terdapat di Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin serta sebagian Kabupaten Batanghari; dan

3. Daerah dataran tinggi >500 m (14,5%), pada wilayah barat. Daerah pegunungan ini terdapat di Kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh serta sebagian Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin.

Provinsi Jambi memiliki topografi wilayah yang bervariasi mulai dari ketinggian 0 meter dpl di bagian timur sampai pada ketingian di atas 1.000 meter dpl, ke arah barat morfologi lahannya semakin tinggi dimana di bagian barat merupakan kawasan pegunungan Bukit Barisan yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Sumatera Barat yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.

Provinsi Jambi sebagai salah satu Provinsi di Sumatera yang terkenal dengan iklim tropis dan kaya akan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati, namun juga tetap menjadi kerentanan terjadi perubahan iklim. Gejala perubahan iklim seperti kenaikan temperatur, perubahan intensitas dan periode hujan, pergeseran musim hujan/kemarau, dan kenaikan muka air laut, akan mengancam daya dukung lingkungan dan kegiatan seluruh sektor pembangunan.

Sepanjang tahun 2011, Provinsi Jambi memiliki karakteristik curah hujan sedang dan lembab, sehingga Jambi termasuk daerah yang beriklim tropis. Rata-rata curah hujan pada tahun 2010 mencapai 3.030 mm, sedangkan jumlah penyinaran matahari 4,2 jam perhari dengan kelembaban udara rata-rata sebesar 97%. Suhu udara rata-rata mencapai 27 derajat Celsius, sedangkan untuk dataran tinggi di Wilayah Barat mencapai 22 derajat celcius.

Di luar hutan, penggunaan lahan Provinsi Jambi masih didominasi oleh perkebunan karet dengan kontribusi sebesar 26,20%. Diikuti oleh perkebunan sawit sebanyak 19,22%. Sebagian besar lahan di Provinsi Jambi digunakan untuk kegiatan budidaya pertanian, baik pertanian lahan sawah maupun pertanian lahan bukan sawah. Berdasarkan karakter komplek ekologinya, perkembangan kawasan budidaya khususnya untuk pertanian terbagi atas tiga daerah yaitu kelompok ekologi hulu, tengah dan hilir. Masing-masing memiliki karakter khusus, dimana pada komplek ekologi hulu merupakan daerah yang terdapat kawasan lindung, ekologi tengah merupakan kawasan budidaya dengan ragam kegiatan yang sangat bervariasi dan komplek ekologi hilir merupakan kawasan budidaya dengan penerapan teknologi tata air untuk perikanan budidaya dan perikanan tangkap.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau Iingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Kawasan strategis nasional yang berada di Provinsi Jambi ditetapkan dengan pertimbangan dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Adapun Kawasan Strategis Nasional yang termasuk dalam kawasan wilayah Provinsi Jambi meliputi :

1. Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan)

2. Kawasan Taman Nasional Berbak (Provinsi Jambi)

3. Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Provinsi Jambi dan Riau)

4. Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (Provinsi Jambi)

Menurut BPS (2010), penduduk Provinsi Jambi tahun 2010 berjumlah 3.092.265 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata sebesar 61,65 jiwa/km2 kecuali Kota Jambi sebesar 2.588,99 jiwa/km2 dan Kota Sungai Penuh sebesar 210,20 jiwa/km2. Sebagaimana karakter ibukota Provinsi pada umumnya yaitu sebagai pusat pemerintahan, industri dan perdagangan, maka Kota Jambi juga merupakan daerah tujuan arus migrasi.

Dilihat dari posisi kewilayahan barat dan timur, maka prosentase distribusi penduduk di kedua wilayah tersebut terlihat relative seimbang, yaitu 52% untuk wilayah timur (Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Kota Jambi), dan 48% untuk wilayah barat (Kerinci, Sungai Penuh, Merangin, Sarolangun, Bungo dan Tebo).

Berdasarkan Undang-undang nomor 6 tahun 1986, luas wilayah administratif pemerintah kota Jambi adalah ± 205.38 km², secara geomorfologis Kota Jambi terletak di bagian barat cekungan Sumatra bagian selatan yang disebut sub-cekungan Jambi, yang merupakan dataran rendah di Sumatra bagian timur.

Wakil Ketua DPRD Prov. Jambi